Rabu, 10 Juni 2009

AMBALAT

KITA tercengang saat 16 dari 17 hakim Mahkamah Internasional
(International Court of Justice/ICJ) yang memeriksa perkara Pulau
Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 menyerahkannya kepada Malaysia.
Mengapa begitu?
Indonesia didakwa "tidak" menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua
pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak
pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah
ada "penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)",
baik oleh Belanda maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia
melakukannya. Padahal, jarak kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan
Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.

NEGARA Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang
sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan
Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang
Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi
Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat
diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB)
III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita
tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia
boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar
pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands
and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang
Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai
implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.

Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia,
yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982,
Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis
dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
Lalu timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat
Peraturan Pemerintah No 38/2002, yang memuat titik-titik dasar
termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus direvisi
karena ICJ memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.

Kini timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan
Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ
(oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok
itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada
ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari
Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua
negara bertetangga (overlapping claim areas).

Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan
hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang
berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk
memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif
serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis
pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil
laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan
ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak
negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang
diberikan hukum laut.

KONDISI yang kini terjadi di Ambalat tidak dapat dilepaskan dari
perebutan Sipadan-Ligitan. Judge (hakim) Shigeru Oda pada Mahkamah
Internasional jeli melihat potensi konflik itu dengan menunjukkan,
meski keberadaan Pulau Sipadan-Ligitan telah diketahui sejak abad ke-
19, namun konflik mengenai kepemilikannya baru mencuat tahun 1960-an,
saat kedua negara berselisih paham mengenai batas landas kontinen
keduanya.

Meski Oda termasuk hakim yang memberi putusan kepemilikan Sipadan-
Ligitan kepada Malaysia karena alasan effectivites, namun ia membuat
pernyataan, "?the present judgment determining sovereignty over the
islands does not necessarily have a direct bearing on the
delimitation of the continental shelf, which has been a subject of
dispute between the two states since the late 1960s".

Oda menekankan, saat ini "penetapan batas landas kontinen" lebih
ditekankan pada prinsip yang disebut dengan an equitable solution.

Maka, tindakan Malaysia mengirim kapal perang atau pesawat tempur ke
Indonesia, apalagi dengan bonus "menyiksa warga kita yang sedang
membangun suar di Karang Unarang" tidak dapat dibenarkan. Karang
Unarang adalah suatu low tide elevation (elevasi pasang surut), yang
dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara
kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau
atau karang terluar untuk dipakai sebagai garis pangkal. Itu berarti
Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian
Indonesia) berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai
pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.

Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis
pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight
baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia
seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik
baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau
Sipadan atau Ligitan.

Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut
teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri",
maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim
penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang
membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially
and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special
circumstances dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa
yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya
doktrin itu.

Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal
masing-masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah
berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara,
Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan
mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta
wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak
mengikat Indonesia. Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak
diterbitkan, karena penarikan baselines yang tidak jelas landasan
hukumnya.

Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah
Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka
untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh
adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua
negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan
menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982.

Indonesia telah berkali-kali mengajak Malaysia duduk di meja
perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons
positif. Kini tingkat kesabaran rakyat Indonesia sedang diuji, kasus
tenaga kerja Indonesia (TKI), kasus illegal logging, dan konflik
Ambalat membawa pandangan negatif tentang Malaysia. Keberadaan TNI
Angkatan Laut dapat dibenarkan karena tiap negara harus menjaga
kedaulatan negaranya di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Jika
tidak bisa bertindak in good faith, sebagaimana dilakukan negara-
negara beradab, maka Malaysia menyisakan ruang bagi Indonesia agar
mempertahankan prinsip "bertetangga baik" seperti selama ini dianut
Indonesia secara "berlebihan".

0 komentar:

Posting Komentar

Tendi © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute